Ormas/LSM Banyak Alami Krisis Kepercayaan di Mata Masyarakat
Salah satu partisipasi masyarakat sipil di Indonesia dalam pembangunan terlihat melalui hadirnya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). LSM adalah sebuah organisasi yang didirikan oleh perorangan ataupun sekelompok orang yang secara sukarela memberikan pelayanan kepada masyarakat tanpa tujuan keuntungan dari kegiatannya.
Penamaan LSM mulai marak dipergunakan selama masa pemerintahan Orde Baru (1966-1998). Adanya pengertian “kemandirian" dalam nama LSM seringkali memang diartikan sebagai bentuk kegiatan yang bersifat “anti-pemerintah".
Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, LSM banyak berperan sebagai lembaga perjuangan dan kritik masyarakat atas pembangunan yang dilakukan pemerintah. Elizabeth Fuller Collins dalam bukunya Indonesia Betrayed: How Development Fails (2007) memberi contoh soal LSM pertama di Indonesia bernama Lembaga Bantuan Hukum (LBH), yang berdiri tahun 1971, muncul untuk mengadvokasi kasus masyarakat kecil pada masanya, seperti kasus Simprug, kasus pembangunan Taman Mini, pembangunan Lubang Buaya dan sebagainya.
Di Indonesia, tidak ada aturan khusus yang mengatur soal LSM. Selain UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, rujukan hukum terkait LSM paling tidak hanya terkait dengan jenis badan hukum atau non-badan hukum yang dipergunakan organisasi selama berkegiatan.
Umumnya, LSM mengambil bentuk yayasan atau perkumpulan. Jika memilih bentuk yayasan, LSM tersebut dapat mengacu pada UU No.16 Tahun 2001 tentang Yayasan yang telah diperbarui dengan UU No 28 Tahun 2004. Sementara, jika LSM mengambil bentuk perkumpulan berbadan hukum (persona standi in juditio), maka ia perlu mengajukan SK ke Kemenkumham setelah pembuatan akta pendirian perkumpulan.
Saat ini, belum ada data yang komprehensif terkait dengan jumlah LSM di Indonesia. Buku Direktori Lembaga Swadaya Masyarakat di Indonesia (2001) dari LP3ES memberi informasi jumlah LSM sebesar 444 sampai dengan tahun itu. Dari data Kementerian Dalam Negeri, daftar Organisasi Masyarakat (Ormas) dan LSM yang terdaftar hingga 2010 sebanyak 364 lembaga. Sementara, informasi yang dapat diperoleh melalui database online milik Lembaga Penelitian SMERU mencatat ada 2.848 LSM dari seluruh Indonesia per 13 Maret 2017.
Berangkat dari data SMERU, LSM dengan kerja isu lingkungan hidup merupakan organisasi masyarakat sipil yang paling dominan di Indonesia secara kuantitas, yakni mencakup 675 organisasi. Hal ini memberi semacam sinyal bahwa mungkin memang benar soal lingkungan hidup di Indonesia menempati suatu situasi yang darurat. Atau, bisa juga, ada ketergantungan yang besar LSM di Indonesia dengan pembiayaan pendonor asing yang memang suka dan sangat peduli terhadap kasus lingkungan hidup.
Sementara LSM untuk bidang usaha kecil/industri rumah tangga mencapai 181 organisasi dan menjadi LSM dengan jumlah kuantitas kedua terbanyak di Indonesia. Pada urutan ketiga ditempati LSM yang fokus pada permasalahan perempuan dan gender dengan jumlah 100 LSM.
Patut dicatat juga, kerja isu LSM tersebut seringkali tidak hanya dalam satu pokok masalah saja. Ada LSM yang lingkup kerjanya di isu pendidikan sekaligus kesehatan, ataupun soal perempuan, gender dan anak. Contohnya PKBI.
Bila dilihat berdasarkan wilayahnya, sebagian besar LSM masih berada di wilayah utama dari Pulau Jawa, yakni: DKI Jakarta (347), Jawa Barat (344), Jawa Tengah (221), dan Jawa Timur (195). Selain karena memang Pulau Jawa masih menjadi sentral dari pembangunan, aspek kepadatan penduduk dan kompleksitas permasalahan sosial menjadi alasan LSM tersebut berada di wilayah ini.
Namun, terlihat juga bahwa wilayah lain di luar Pulau Jawa, yakni NTT (166), Sulawesi Selatan (151), Nusa Tenggara Barat (149) ataupun Papua (123) cukup marak juga dengan kehadiran LSM. Situasi tersebut mungkin menandakan bahwa arah pembangunan memang bergerak ke wilayah Indonesia bagian timur, ataupun adanya pengaruh desentralisasi pembangunan pasca-perubahan politik.
Selain LSM dalam negeri, Indonesia pun mencatat kehadiran LSM asing. Dalam buku Direktori Organisasi Internasional Non Pemerintah di Indonesia (2011) terbitan Direktorat Sosial Budaya dan Organisasi Internasional Negara Berkembang, Kementerian Luar Negeri, menyebut sejumlah 109 LSM asing yang terdaftar secara resmi di Indonesia. Jika ingin beroperasi di Indonesia, maka salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh LSM asing ini adalah memiliki hubungan kemitraan dengan salah satu instansi pemerintahan di Indonesia.
Pendirian LSM pada dasarnya bertujuan untuk melindungi kepentingan masyarakat. Dengan kata lain, LSM dibangun di atas kepercayaan masyarakat. Namun, dalam hasil survei Edelman Trust Barometer Indonesia memperlihatkan suatu kenyataan menarik perihal tren global adanya “krisis kepercayaan" terhadap LSM. Sebanyak 21 negara dikatakan telah mengalami penurunan tingkat rasa kepercayaan mereka terhadap peran LSM sebagai salah satu institusi publik penting, terutama untuk periode 2016-2017.
Di Indonesia sendiri, tingkat kepercayaan terhadap LSM menurun pada 2016 menjadi 57 persen dari periode sebelumnya sebesar 64 persen. Meskipun pada 2017 mengalami peningkatan, tetapi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap LSM masih lebih rendah jika dibandingkan dengan tiga institusi publik lainnya: bisnis, media dan pemerintahan.
Sejak 2015, tingkat kepercayaan Publik terhadap LSM selalu lebih rendah dibandingkan tiga institusi lainnya. Sebagai contoh, pada 2017, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap media berada pada level 67 persen, sementara LSM hanya memperoleh 64 persen. Begitu pula dengan tingkat kepercayaan terhadap pemerintah dan bisnis yang mencapai level di atas 70 persen.
Perubahan Cara Kerja
Apa yang kemudian dapat dibaca dari gejala ini?
Selama lebih dari tiga dekade, LSM di Indonesia cenderung dipandang dan bekerja dengan konteks sosial politik pemerintahan Orde Baru. Meski pertumbuhan secara faktual LSM terus terjadi, pengalaman dan dampak berkepanjangan atas sistem represi Orde Baru seringkali masih terasa dan sangat signifikan.
Implikasinya, metode cara kerja LSM dalam merespons isu ataupun bersikap terhadap pemerintah belum terlalu berubah. Padahal dengan adanya tren global “krisis kepercayaan" terhadap LSM tentunya akan berdampak pada situasi pendanaan (fund), terutama dari pendonor asing. Pada kasus yang lain, tingkat kepercayaan yang masih rendah dari publik Indonesia terhadap LSM belum akan memudahkan dalam mendorong public funding di tingkat lokal atau nasional.
Karenanya, agar akuntabilitas dan tanggung jawab dari LSM berakar di Indonesia, kiranya ada beberapa prasyarat. Hal tersebut seperti yang diungkap oleh Hans Antlov, Rustam Ibrahim dan Peter van Tuijl dalam NGO Governance and Accountability in Indonesia: Challenges in a newly Democratizing Country (2005). Salah satunya adalah bahwa lembaga pendanaan mulai menyadari akuntabilitas yang tidak hanya sekedar soal laporan akuntansi: donor perlu terus penerima standar yang tinggi akuntabilitas dari publik.
Hal yang tidak kalah penting adalah sektor filantropis perlu segera dikembangkan di Indonesia, sehingga LSM di Indonesia menjadi tidak terlalu bergantung pada dana asing, dan untuk proses awal, mereka perlu semakin berhubungan dengan para pemangku kepentingan Indonesia, serta menjadi lebih responsif terhadap perkembangan, isu dan permasalahan lokal masyarakat secara langsung.(endry kurniawan)
0 Response to "Ormas/LSM Banyak Alami Krisis Kepercayaan di Mata Masyarakat"
Posting Komentar