Korupsi merongrong negara, sengsarakan rakyat
Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (“UU BPK”):
“Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.”
Pasal 1 Angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (“UU Perbendaharaan Negara”):
“Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.”
Penjelasan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU 31/1999”):
“Yang dimaksud dengan “secara nyata telah ada kerugian keuangan negara” adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.”
Dalam Penjelasan Pasal 59 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara dikatakan bahwa kerugian negara dapat terjadi karena pelanggaran hukum atau kelalaian pejabat negara atau pegawainegeri bukan bendahara dalam rangka pelaksanaan kewenangan administratif atau oleh bendahara dalam rangka pelaksanaan kewenangan kebendaharaan. Penyelesaian kerugian negara perlu segera dilakukan untuk mengembalikan kekayaan negara yang hilang atau berkurang serta meningkatkan disiplin dan tanggung jawab para pegawai negeri/pejabat negara pada umumnya, dan para pengelola keuangan pada khususnya.
Dalam artikel Kerugian Keuangan Negara Pada Tindak Pidana Korupsi, dijelaskan bahwa berdasarkan UU BPK dan Keppres No. 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen yang menilai/menetapkan ada tidaknya kerugian keuangan negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (“BPK”) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (“BPKP”). Adapun perhitungan kerugian negara sendiri bersifat kasuistis, atau dilihat kasus per kasus. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam artikel tersebut.
Namun, bagaimana jika perkara korupsi tersebut telah sampai pada ranah pengadilan? Bagaimana cara hakim menilai sejauh mana keuangan negara tersebut dikatakan mengalami kerugian? Untuk menjawabnya, kami mengacu pada sebuah contoh kasus yang terdapat dalam artikel UU Korupsi Menganut Kerugian Negara Dalam Arti Formil. Artikel tersebut menceritakan tentang soal pertimbangan majelis hakim yang menyatakan unsur “kerugian negara” tidak terbukti dalam kasus kredit yang disalurkan Bank Mandiri kepada PT Cipta Graha Nusantara (CGN) karena perjanjian kredit masih berlangsung hiingga September 2007 dan CGN selalu membayar cicilan hutang.
Alasan majelis hakim menyatakan unsur “kerugian negara” tidak terbukti dalam kasus tersebut adalah karena secara substansi, Bank Mandiri tidak mengalami kerugian sehingga negara juga tidak dirugikan. Pendapat majelis hakim ini mengacu pada Pasal 1 Angka 22 UU Perbendaharaan Negara yang mensyaratkan adanya kerugian negara yang benar-benar nyata.
Namun, ada pandangan lain yang menyebutkan seharusnya hakim dalam menilai unsur kerugian negara itu tidak berpedoman pada UU Perbendaharaan Negara. Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjajaran Prof. Komariah Emong Sapardjaja berpendapat pertimbangan majelis dalam kasus tersebut tidak tepat dan tidak sesuai dengan ketentuan UU 31/1999. Ia mengatakan bahwa UU 31/1999 menganut konsep kerugian negara dalam arti delik formil. Unsur ‘dapat merugikan keuangan negara' seharusnya diartikan merugikan negara dalam arti langsung maupun tidak langsung. Artinya, suatu tindakan otomatis dapat dianggap merugikan keuangan negara apabila tindakan tersebut berpotensi menimbulkan kerugian negara. Jadi, ada atau tidaknya kerugian negara secara riil menjadi tidak penting.
Ketentuan dalam UU Pemberantasan Tipikor yang dimaksud adalah Pasal 2 ayat (1) UU 31/1999:
“..dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”
Di dalam penjelasan pasal di atas dikatakan bahwa kata ‘dapat’ sebelum frasa ‘merugikan keuangan atau perekonomian negara’ menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.
Masih bersumber dari artikel yang sama, pendapat lain yang senada juga diungkapkan ahli hukum pidana, Prof. Romli Atmasasmita. Ia berpendapat majelis hakim seharusnya mengartikan unsur ‘dapat merugikan keuangan negara' dalam konteks delik formil. Oleh karena itu, kerugian negara secara nyata tidak diperlukan selama didukung oleh bukti-bukti yang mengarah adanya potensi kerugian negara. Dengan digunakannya UU Perbendaharaan Negara, berarti majelis hakim telah menghilangkan makna kata ‘dapat' dalam unsur ‘dapat merugikan keuangan negara'. Pasalnya, UU Perbendaharaan Negara menganut konsep kerugian negara dalam arti delik materiil, sedangkan UU 31/1999 menganut konsep kerugian negara dalam arti delik formil.
Dari uraian di atas, kami cenderung sependapat dengan para ahli yang menyatakan bahwa unsur “merugikan keuangan negara” itu diartikan dalam konteks delik formil sesuai UU 31/1999, dan bukan delik materiil seperti dianut UU Perbendaharaan Negara. Hal ini karena adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat. Jadi, apabila perbuatan korupsi itu sudah ‘berpotensi’ menimbulkan kerugian keuangan negara, hal itu sudah dianggap menimbulkan kerugian keuangan negara.(#)
0 Response to "Korupsi merongrong negara, sengsarakan rakyat"
Posting Komentar