Memberantas Korupsi lewat Pajak
Apa fungsi pajak? Salah satunya, pajak berfungsi sebagai sumber penerimaan untuk membiayai pengeluaran negara. Meskipun tidak disebutkan secara eksplisit, fungsi tersebut sebenarnya terkandung dalam definisi pajak menurut UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yaitu "...digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat." Inilah yang disebut fungsi budgetair.
Selain fungsi budgetair, pajak juga mempunyai fungsi lain, yaitu fungsi regulerend atau mengatur. Maksudnya, pajak dapat digunakan pemerintah sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu. Misalnya, untuk mengurangi konsumsi rokok masyarakat, pemerintah mengenakan pajak yang tinggi terhadap rokok.
Atas dasar fungsi regulerend itulah, pajak sesungguhnya juga dapat digunakan sebagai alat untuk mencapai berbagai tujuan yang mulia. Apa salah satunya? Memberantas rasuah. Ya, pajak dapat digunakan untuk memberantas korupsi!
Mengenal Korupsi
Mengacu pada UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), korupsi dapat didefinisikan sebagai suatu perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan cara melawan hukum sehingga menimbulkan kerugian keuangan negara. Berdasarkan rumusan tersebut, suatu perbuatan dapat dikatakan korupsi apabila memenuhi tiga unsur. Pertama, perbuatan itu melawan (melanggar) hukum. Kedua, ada pihak yang diuntungkan dari perbuatan itu, baik diri sendiri maupun orang lain. Ketiga, perbuatan itu menimbulkan kerugian pada keuangan negara.
Masih berdasarkan UU Tipikor, korupsi dapat dikelompokkan menjadi tujuh jenis. Ketujuhnya meliputi kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan/penyalahgunaan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi.
Pemberian suap dan gratifikasi merupakan salah satu jenis korupsi yang sering dilakukan. Biasanya, itu diberikan kepada oknum pejabat publik. Motifnya, agar si pemberi memperoleh keuntungan tertentu. Misalnya, agar proses pengurusan perizinan yang dilakukannya "dipermudah" atau supaya ia ditunjuk sebagai pemenang dalam pelaksanaan lelang/tender.
Korupsi itulah (suap dan gratifikasi) yang bisa diberantas menggunakan pajak. Kendati demikian, tidak menutup kemungkinan pajak juga bisa digunakan untuk memberantas korupsi dalam bentuk lain. Lantas, bagaimana pajak dapat digunakan untuk memberantas suap dan gratifikasi?
Kecenderungan Manusia
Pada dasarnya, orang cenderung tidak rela membayar pajak. Sebisa mungkin ia menghindari perbuatan atau kegiatan yang bisa menyebabkannya dikenai pajak yang lebih tinggi. Nah, kecenderungan inilah yang harus dimanfaatkan.
Kebijakan perpajakan harus didesain sesuai dengan kecenderungan manusia terhadap pajak tersebut. Ciptakan kondisi di mana pemberi suap dan gratifikasi akan dikenai pajak yang lebih tinggi. Dengan begitu, kemungkinan mereka akan cenderung menghindari atau tidak melakukan pemberian suap dan gratifikasi. Namun, caranya bagaimana?
Melalui PPh
Pada prinsipnya, pajak penghasilan (PPh) dikenakan terhadap penghasilan neto. Penghasilan neto di sini maksudnya adalah laba usaha atau penghasilan kena pajak. Laba usaha atau penghasilan kena pajak didapat dari penghasilan bruto dikurangi dengan biaya-biaya. Inilah yang dikalikan dengan tarif PPh sehingga didapatlah PPh terutang.
Secara sederhana, itu dapat dirumuskan menjadi: PPh Terutang = Tarif PPh × Laba Usaha (Penghasilan Bruto - Biaya)
Dari rumus di atas, dapat disimpulkan bahwa jika biaya semakin besar, pajak (PPh terutang) menjadi semakin kecil. Begitu pula sebaliknya, jika biaya semakin kecil, pajak menjadi semakin besar.
Pemberian suap dan gratifikasi merupakan biaya bagi si pemberi. Ini akan memengaruhi jumlah laba usaha. Pada akhirnya, juga akan memengaruhi jumlah PPh terutang.
Agar pemberi suap dan gratifikasi bisa dikenai PPh yang lebih tinggi, harus ditetapkan bahwa biaya yang dikeluarkan untuk pemberian suap dan gratifikasi tidak boleh diakui sebagai biaya untuk tujuan perpajakan. Biaya tersebut tidak boleh dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto dalam menghitung PPh terutang. Dengan begitu, laba usahanya akan menjadi semakin besar sehingga PPh-nya menjadi lebih tinggi.
Agar lebih mudah dipahami, mari simak contoh kasus berikut:
Selama tahun 2019, PT Tukang Ngibul yang bergerak di bidang penjualan daging sapi memperoleh penghasilan bruto sebesar Rp10 miliar dan mengeluarkan biaya usaha sebesar Rp7 miliar. Dalam biaya usaha tersebut, terdapat biaya pemberian suap kepada oknum pejabat Kementerian X sebesar Rp1 miliar agar PT Tukang Ngibul mendapatkan jatah kuota impor daging sapi.
Skenario 1: Biaya suap boleh dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto
Pengasilan Bruto: Rp10 miliar
Biaya: (Rp7 miliar)
Penghasilan Kena Pajak: Rp3 miliar
PPh Terutang: 25% x Rp3 miliar = Rp750 juta
Skenario 2: Biaya suap tidak boleh dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto
Koreksi Fiskal Positif: Rp1 miliar
Penghasilan Kena Pajak: Rp4 miliar
PPh Terutang: 25% x Rp4 miliar = Rp1 miliar
Dalam publikasinya yang berjudul Worlwide Tax Summaries Corporate Tax 2014/15, PricewaterhouseCoopers (PwC) menyebut terdapat 18 negara yang mengatur perlakuan pajak untuk biaya-biaya yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Ke-18 negara tersebut mengatur bahwa biaya pemberian suap dan gratifikasi tidak dapat menjadi pengurang penghasilan bruto. Bahkan, di antara ke-18 negara tersebut, ada negara-negara Afrika seperti Uganda dan Zambia. Hal ini menunjukkan bahwa dunia internasional pun sebenarnya sedang memberantas korupsi lewat pajak.
Indonesia sendiri saat ini belum memiliki ketentuan yang mengatur bahwa biaya pemberian suap dan gratifikasi tidak boleh dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto. Itu tercermin dalam UU PPh, khususnya pada Pasal 9 ayat (1). Dari sekian banyak biaya yang tidak boleh dikurangkan yang disebutkan di sana, tidak ada biaya pemberian suap dan gratifikasi. Artinya, UU PPh saat ini masih "mempersilakan" wajib pajak mengakui biaya pemberian suap dan gratifikasi sebagai pengurang penghasilan bruto. Jadi, apa yang harus dilakukan?
UU PPh saat ini harus diubah. Dalam beleid tersebut perlu ditambahkan ketentuan yang menegaskan bahwa biaya pemberian suap dan gratifikasi tidak boleh dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto. Ini mesti dilakukan kalau Indonesia tidak mau dikatakan tertinggal dari Uganda dan Zambia dalam hal pemberantasan korupsi lewat pajak.
Kabar baiknya, upaya untuk memperbarui UU PPh tengah dilakukan. Proses pembahasan antara Pemerintah bersama dengan DPR pun masih terus berlangsung. Besar harapan, buah pemikiran di atas dapat diakomodasi oleh para pemangku kepentingan. Dengan begitu, akan hadir semangat antikorupsi dalam UU PPh yang baru. Ini penting karena "Tanpa Korupsi, Pajak Kuat, Indonesia Maju!"
Dikutip dari : Rendy Ditjend Pajak
0 Response to "Memberantas Korupsi lewat Pajak"
Posting Komentar